Disuatu sudut cafe terlihat sekelompok anak muda sedang “nongkrong” ditemani minuman dan snack ringan. Walau mereka di meja yang sama namun terlihat mereka terdiam seribu bahasa hanya sesekali raut muka mereka yang berubah-ubah kadang terlihat serius kadang tersenyum. Sementara itu dua tangan mereka asyik dengan smart phone yang dilengkapi dengan berbagai aplikasi canggih.
Di tempat lain di lokasi yang berbeda namun masih dalam satu kota terlihat seorang anak muda sedang mengerjakan sebuah alat musik sape. Ia terlihat sedang menyetel senar alat musik petik khas suku Dayak ini. Sapek yang ia produksi telah merambah ke pasar domestik maupun mancanegara.
Anak muda itu bernama Alfonsus Ide Chrisme (30 th) atau sering disapa sebagai Iid. Pria tamatan ISI ini mengaku memang menekuni usaha pembuatan sapek sebagai bentuk totalitas dalam melestarikan adat budaya. “Sapek adalah passion saya, saya membuat, memasarkannya bahkan juga membantu siapa saja yang berminat belajar alat musik ini. Saya dan sapek adalah sebuah kesatuan”, ujarnya sambil tergelak.
Bukan tanpa alasan ia menekuni kerajinan Sapek ini, karena sedikit sekali anak muda yang berminat dan mau melestarikan budaya daerah. Sebagai bentuk keprihatinannya ia pun bertekad melestarikan sapek dan mengenalkan alat musik ini ke masyarakat luas. “Selama ini peminat alat musik yang saya buat ini lumayan banyak dan sapek buatan saya telah dikirim sampai ke Spanyol, Hongkong, Australia, Inggris dan berberapa negara selain tentunya juga dipasarkan di dalam negri”, ungkap pria yang telah dikaruniai satu putri ini.
Tak jauh berbeda seperti Iid, yakni Hendra (25 th), seorang anak muda peranakan Tionghoa-Dayak. Pria yang keseharianya bekerja di sebuah hotel bergengsi di Kota Ketapang ini juga memiliki kepedulian yang sama dalam melestarikan budaya. Selain mahir memainkan alat musik daerah seperti sapek, ia juga menekuni kerajinan anyaman dari tanaman resam.
Tanaman resam atau paku andam (Dicranopteris linearis syn Gleichenia linearis) sendiri merupakan jenis paku yang besar yang biasa tumbuh pada tebing-tebing di tepi jalan di pegunungan. Tumbuhan sebagai tumbuhan endemik khususnya didaerah pedalaman Kalimantan. Ditangan Hendra resam menjadi kerajinan unik berbentuk gelang atau cincin yang banyak diminati oleh khususnya kaum muda serta dikenal sebagai gelang simpai.
“Saya senang menganyam, permintaannya pun lumayan namun ya tergantung bahan baku ya yang memang terbatas”, ujar pria yang juga anggota Credit Union Pancur Solidaritas (CUPS) ini. Konsumennya pun beragam dari lokal maupun dari macanegara. Biasanya konsumen dari luar adalah para volunteer atau pun pekerja lingkungan di NGO. Pernah ada orang luar negri yang minta dianyamkan simpai di kaki, Hendra pun menyampaikan juga resikonya. “Ya kalo di kaki saya tanya juga ini berbahaya kalau kita sedang menyelam/diving takutnya sangkut di ranting-ranting di dasar sungai atau lautkan bahaya”, ujarnya.
Simpai sendiri adalah anyaman yang biasanya digunakan untuk menguatkan gagang mandau, sumpit dan alat/perkakas yang digunakan oleh suku Dayak. Di rumah hendra sendiri banyak terlihat berbagai anyaman. Walau hanya sekedar sampingan ia mengaku hasil dari kerajinannya cukup menjanjikan. Ia pun mengaku tak gengsi sebagai anak muda dengan pekerjaan saat ini namun juga menekuni kerajinan anyaman. “Saya bangga bisa terus melestarikan budaya, ya kalau bukan kita yang muda siapa lagi”, ujarnya tersenyum.
Kemajuan jaman dengan segala dinamikanya memang telah menyentuh segala sisi kehidupan termasuk pada generasi muda. Perkembangan teknologi yang pesat juga tentu menjadi peluang positif bagi anak muda seperti Iid dan Hendra dimana mereka dapat mempromosikan apa yang mereka tekuni. Perkembangan jaman ini tentunya juga harus diimbangi dengan kepedulian kaum muda akan budayanya, karena sejatinya budaya adalah karakter bangsa. Merawat budaya berarti juga merawat peradaban dan menjaga harmoni yang semakin membentuk karakter positif dari anak bangsa. (VD. Irwin)