• Dunia mengenal beberapa generasi dengan segala macam karakteristiknya.
• ada banyak sekali pemimpin gerakan sipil yang lahir dari generasi The Silent Generation.
• Perbedaan karakter dan kultur antar generasi memang berpengaruh besar dan rentan menghasilkan konflik
Generasi milenial akan menguasai mayoritas pasar tenaga kerja. Tanpa pemahaman yang baik terhadap perilaku kaum milenial, perusahaan berpotensi kehilangan talenta-talenta terbaiknya. Dunia mengenal beberapa generasi dengan segala macam karakteristiknya. Setelah kemunculan generasi Silent, generasi Baby Boomers, juga generasi X Pada 2014, Universitas Bentley melakukan survei tentang generasi Milenial.
Ben Whittaker adalah seorang pria berumur 60-an. Sebagai seorang pensiunan, hidupnya datar saja. Pergi belanja barang keperluan sehari-hari, minum kopi, ke gereja, bertemu teman-teman seumuran, dan menghadiri pemakaman kawan-kawannya. Membosankan. Hingga suatu hari, dia melihat pengumuman lowongan magang bagi para penduduk berusia lanjut. Ben melamar, dan dia diterima.
Perusahaan tempatnya melamar kerja adalah About the Fit, sebuah perusahaan fashion berbasis internet dan dikomandani oleh CEO perempuan yang masih muda, Jules Ostin.
Karena berbasis internet, tak heran kalau pekerjaan di perusahaan itu didominasi oleh komputer dan aneka perangkat elektronik. Ben yang old school jelas kebingungan. Dia nyaris tidak pernah menyentuh komputer, tidak punya email, apalagi jejaring sosial.
Kisah antara Ben dan Jules itu memang fiksi, dari film berjudul The Intern. Ben diperankan oleh aktor senior Robert De Niro, 72 tahun. Sedangkan Jules diperankan oleh Anne Hathaway, 33 tahun. Namun jarak antar generasi ini bukan sesuatu yang fiksi.
Dunia mengenal beberapa generasi dengan segala macam karakteristiknya. Setelah kemunculan generasi Silent, generasi Baby Boomers, juga generasi X, kini muncul generasi Milenial.
Generasi-Generasi Itu
Penamaan generasi ini mulai muncul pada dekade 1920-an di Amerika Serikat. Saat itu, generasi pertama yang diberi nama adalah mereka yang lahir sebelum 1928. Dunia mengenal mereka dengan sebutan mentereng: The Greatest Generation. Generasi terbaik. Sebutan ini dipopulerkan oleh jurnalis Tom Brokaw. Dia menulis: “generasi ini adalah generasi terbaik yang pernah dihasilkan oleh masyarakat.”
Alasannya, generasi ini adalah generasi yang berhasil melewati dua masa berat: Great Depression dan Perang Dunia II. Ronald Reagan, mantan Presiden Amerika Serikat, menyebut mereka sebagai generasi yang menyelamatkan dunia.
Setelah itu, muncul The Silent Generation. Generasi diam. Mereka adalah orang-orang yang lahir antara 1928 hingga 1945. Jumlahnya relatif lebih sedikit ketimbang generasi lain, dikarenakan mereka lahir di tengah masa depresi dan perang yang mendorong orang untuk membatasi jumlah kelahiran.
Meski berjumlah sedikit, ada banyak sekali pemimpin gerakan sipil yang lahir dari generasi ini. Mulai Martin Luther King, Jr. Malcolm X, hingga Robert F. Kennedy. Banyak seniman besar juga termasuk pada generasi ini. Mulai Andy Warhol, Clint Eastwood, John Lennon, Ray Charles, Jim Morrison, dan para seniman dari Beat Generation. Intelektual Noam Chomsky juga berada pada rombongan ini.
Setelah berhasil menang perang dan melewati era Great Depression, tingkat kelahiran di Amerika Serikat melonjak. Orang-orang optimistis memandang hidup dan tak takut untuk mempunyai anak. Pada dekade 1940-an, ada 32 juta kelahiran bayi di Amerika Serikat. Bandingkan dengan dekade 1930-an yang hanya ada 24 juta kelahiran bayi.
Karena ledakan kelahiran ini, generasi yang lahir pada pertengahan 1946-an hingga 1964 disebut sebagai Baby Boomer Generation. Generasi ini dikenal dengan sikap pemberontakan kepada nilai-nilai tradisional.
Setelahnya adalah Generation X. Ini untuk menyebut mereka yang lahir antara 1965 hingga 1980. Generasi ini kerap dianggap sebagai generasi penyendiri yang cerdas dan kreatif.
Setelahnya baru muncul generasi Y, atau yang akrab disebut sebagai Millenial Generation.
Generasi Millenial dan Teknologi
Anne Hathaway adalah anggota generasi Milenial, yakni mereka yang lahir setelah tahun 1980-an. Generasi ini adalah generasi pertama yang lahir pada milenium baru. Lembaga riset Pew Research Centre menyebut karakteristik generasi ini sebagai generasi yang percaya diri, ekspresif, liberal, bersemangat, dan terbuka pada tantangan.
Amerika Serikat punya banyak sekali anggota gerbong generasi Milenial ini. Berdasarkan hasil survei dari Biro Sensus Amerika Serikat, ada 83,1 juta orang generasi Milenial. Lebih dari seperempat populasi Amerika Serikat.
Di Negara Paman Sam, generasi ini jadi perbicangan karena perbedaan yang teramat mencolok dengan dengan generasi pendahulu. Tentang penggunaan teknologi dan internet, misalkan. Sekitar 74 persen generasi Millenial menganggap bahwa teknologi baru membuat hidup jadi lebih mudah.
Tentang penggunaan media sosial, para generasi Milenial yang saat ini berumur 18 hingga 29 tahun, sekitar 75 persen mempunyai media sosial. Sedangkan generasi sebelumnya, yakni generasi X yang berumur antara 30 sampai 45 tahun, hanya sekitar 50 persen yang mempunyai media sosial. Paling sedikit adalah generasi Silent yang berumur lebih dari 65 tahun. Hanya 6 persen dari mereka yang menggunakan media sosial.
Generasi Milenial juga menganggap media sosial sebagai dunia yang mengasyikkan. Terbukti kalau 29 persen generasi Milenial mengunjungi media sosial beberapa kali dalam sehari. Kemudian 26 persen memeriksa paling tidak satu kali dalam sehari, 20 persennya mengecek media sosial setiap beberapa hari, dan 25 persen satu kali dalam seminggu.
Ponsel pintar juga jadi penanda unik generasi Milenial. Kehadiran ponsel pintar ini ibarat buah simalakama. Di satu sisi, ponsel pintar seperti menghilangkan batas geografis, juga memudahkan orang untuk terhubung. Namun di satu sisi, ponsel pintar juga dituding sebagai penyebab keterasingan di dunia yang semakin ramai. Orang semakin sibuk menatap layar ponsel pintar, dan mengabaikan orang di sekitar.
Bagi generasi Milenial, ponsel sangatlah penting. Sekitar 94 persen generasi Milenial mempunyai ponsel. Selain itu, sekitar 83 persen dari generasi Milenial tidur dengan meletakkan ponsel di sampingnya. Lagi-lagi, generasi Silent yang paling tidak acuh terhadap ponsel pintar, dengan 20 persen saja dari mereka yang tidur bersama ponsel.
Ronald A. Berk, Professor Emeritus pada The Johns Hopkins University membuat daftar 10 karakteristik generasi Milenial yang berhubungan dengan internet.
Millenial dan Etika Kerja
Pada 2014, Universitas Bentley melakukan survei tentang generasi Milenial di tempat kerja. Hasilnya adalah 61 persen memuji generasi ini sebagai generasi yang mudah bergaul. Namun, terkait etos kerja, 66 persen menyatakan bahwa mereka susah diatur. Untuk sikap, sekitar 51 persen responden mengatakan generasi Milenial kurang punya rasa hormat kepada kolega.
Perbedaan karakter dan kultur antar generasi memang berpengaruh besar dan rentan menghasilkan konflik. Hal ini sebenarnya bukan hal baru, karena pernah terjadi pula antara generasi Baby Boomer dan Generasi X. Kali ini, konflik di dunia kerja terjadi antara Generasi X dan generasi Milenial. Dari hasil survei yang sama, sekitar 66 persen generasi Milenial merasa disalahpahami oleh para seniornya.
Generasi Milenial kerap dituding sebagai generasi yang manja, etos kerja yang buruk, sampai terlalu banyak menghabiskan waktu di depan televisi atau ponsel pintar. Banyak yang menyebutnya sebagai generasi galau karena sering tidak betah di suatu tempat atau menekuni suatu hal. Benarkah demikian?
“Generasi Milenial akan memerlukan pengawasan paling tinggi dalam sejarah dunia. Namun, mereka juga bisa menjadi generasi paling hebat dalam dunia kerja,” ujar Bruce Tulgan, konsultan dan penulis buku It’s Okay to Manage Your Boss, seperti dikutip oleh Fortune.
Lembaga riset Great Place to Work pernah merilis daftar 100 Tempat Kerja yang Cocok Untuk Generasi Milenial. Beberapa perusahaan yang masuk daftar ini antara lain Google, Boston Consulting Group, Twitter, hingga Power Home Remodelling Group yang merupakan perusahaan konstruksi dan real estate.
Ada banyak kesamaan dari perusahaan-perusahaan yang masuk dalam daftar. Mereka membayar gaji dan bonus secara fair, memberikan kesempatan yang sama tanpa memandang senioritas, dan memberikan suara bagi para pekerja berusia muda.
Atmosfer kerjanya pun nyaris serupa: terbuka, ada komunikasi dua arah, tingkat kerja sama yang tinggi, toleransi terhadap keputusan berisiko, dan mengurangi hambatan tidak penting seperti politik kantor.
Perusahaan-perusahaan itu juga menawarkan banyak hal, seperti jadwal kerja fleksibel (73 persen, sementara perusahaan lain hanya 63 persen), pilihan bekerja dari mana saja (82 persen vs 74 persen), hari libur dengan gaji (15 persen vs 11 persen). Perusahaan ini juga menawarkan servis-servis seperti pijat atau kelas fitness.
Sebagai generasi dengan tingkat pendidikan yang baik dan tech savvy, generasi Milenial dikenal dengan perpindahan kerja yang sering. Megan Abbott, pendiri usaha pelatihan kepribadian Fruition Personal Coaching, menyebut bahwa generasi Milenial ingin melihat dampak langsung dari pekerjaannya. Karena itu mereka cenderung meninggalkan pekerjaan kalau mimpi mereka kerap dipandang remeh oleh sang bos atau senior.
“Sebagian besar orang yang aku kenal menganggap pekerjaan sebagai transient phenomenon,” ujar George Dimoulas, 30 tahun pada The Atlantic. “Artinya, kamu bekerja selama beberapa saat, tapi dalam dua atau tiga tahun kamu akan berhenti dan pindah kerja.”
Percaya atau tidak, para generasi Milenial yang berpindah-pindah kerja ini dilaporkan punya kepuasan hidup yang tinggi, bahkan gaji yang lebih tinggi.
“Orang yang pindah kerja secara rutin pada awal kariernya cenderung punya gaji dan pendapatan yang lebih tinggi,” ujar Henry Siu, professor di Vancouver School of Economics, seperti dikutip The Atlantic. “Pindah kerja selain berhubungan dengan gaji yang lebih tinggi, juga berhubungan dengan panggilan hidup mereka.”
Generasi Milenial memiliki karakteristik yang sangat unik. Sangat penting bagi sebuah perusahaan untuk mampu memahami mereka dengan baik. Memahami generasi Milenial sangat penting mengingat mereka akan menguasai pasar tenaga kerja. Jika perusahaan tidak mampu memahami perilaku generasi Milenial dengan baik, bukan tidak mungkin mereka akan mudah kehilangan bakat-bakat terbaiknya. Sebuah kerugian bagi perusahaan karena SDM merupakan aset berharga bagi perusahaan. (disarikan dari Tirto.id)